Main Article Content
Abstract
Artikel ini menjelaskan bagaimana pers alternatif di masa Orde Baru dibungkam jika melanggar aturan pemerintah dan harus mau dijinakkan jika ingin tetap memproduksi konten informasi. Melalui studi pustaka, saya mendapati kontrol pemerintah terhadap pers alternatif ini hadir melalui Surat Tanda Terdaftar (STT). Menariknya, oleh pengelolanya, pers alternatif ini dimanfaatkan untuk uji pasar sebelum terbitan ini hijrah ke penerbitan komersial ber-SIUPP (contohnya: Asri, Golfer, dan Wanita Indonesia). Tapi, bagi pers alternatif yang dimiliki kelompok oposisi, akan terus ditakut-takuti. Pers alternatif lainnya, yakni pers mahasiswa diposisikan tidak jauh berbeda dengan pers umum (arus utama). Di satu sisi harus berupaya bertahan (modal dan sumber daya manusia), di sisi lain kebebasannya dibatasi, bahkan diamati lebih ketat oleh penguasa. Di kampusnya sendiri, juga demikian, diawasi dengan tak kalah ketat oleh pimpinan universitas. Upaya Orde Baru mengontrol pers tak lain adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Dampaknya adalah hak masyarakat mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya dan relevan jauh panggang dari api. Kalaupun berani, pers yang kritis itu akan dicabut SIUPP-nya alias dibredel. Begitu pula dengan pers alternatif. Jika ditemukan melanggar STT, maka produksinya akan dihentikan. Bagi Pers mahasiswa lebih runyam, tak hanya diawasi oleh pemerintah saja, melainkan juga internal kampusnya sendiri.